Cinta Telah Berdebu | Cerpen
hati belah. Jajaran perahu nelayan kehilangan
pesona. Panorama senja dan anak-anak pesisir
pun menyingkir dari perhatian. Betapa pun
mereka pernah kau himpun dalam rencana
idealmu, meski kau tahu: alangkah susah
mengubah nasib yang telah menjadi garis hidup mereka di perkampungan tepi laut ini.
Kira-kira di sini, lima tahun silam, mataku memandang punggungmu tanpa sengaja. Aku
mengawasi tanganmu menari di depan kanvas, hanyut oleh ekspresi goresanmu. Sampai kau
menoleh dan terkejut.
"Kau sungguh berbakat melukis," ujarku tulus.
Alismu terangkat, tak percaya. "Aku... aku hanya belajar," kudengar suaramu gugup. "Aku hanya
memindahkan apa yang kulihat."
"Tapi gambarmu hidup," pujiku sungguh-sungguh.
"Dengan warna-warna mentah begini?"
"Tentu karena belum jadi. Nampaknya kau berlatih sendiri, ya?"
"Ya. Kusadari betul, dalam darahku tak mengalir bakat seni...."
"Kau berbakat!" sanggahku. "Kau paham tentang lukisan, sayang kalau tak dikembangkan. Ingin
aku memperkenalkanmu pada Kak Yudhis."
"Kak Yudhis? Siapa dia?" Alismu nyaris bertaut.
"Dia pelatihku di Teater Merah Putih. Juga seorang pelukis yang memiliki sanggar. Kau bisa
belajar melukis di sana."
"Sanggar?" Matamu membulat seketika. "Tidak!" gelengmu tegas, membuatku tercengang.
"Melukis dalam sanggar akan menjadikanku mati rasa. Aku tak bisa menyaksikan matahari
tenggelam, ombak yang pecah, dan burung-burung laut. Aku tak bisa bermain dengan anak-anak
di sini, tidak bertemu belibis. Tidak! Jangan pisahkan aku dengan semua itu!"
Aku melihat biasan kaca di matamu. Dalam beberapa detik aku terpana. "Kau... kau begitu
mencintai tempat ini rupanya," kataku berhati-hati.
Kepalamu mengangguk.
"Mengapa?"
"Tempat ini menenteramkan."
"Hanya tempat ini?" Tiba-tiba rasa ingin tahuku membuncah. "Setidaknya bila dibandingkan dengan rumahku," suaramu tak acuh.
"Agaknya kau tidak bahagia di rumah." Aku sungguh tak pandai memelihara kesabaran.
Kau menoleh terkejut. Tapi pijar matamu kelam. Lantas kau buang pandangmu ke kaki langit
yang jauh, dan bergumam tak jelas.
"Aku ingin mendengar ceritamu," aku penasaran. "Kalau boleh."
"Tentang mengapa tempat ini menenteramkan bagiku?" tanyamu.
Kuanggukkan kepala.
"Karena laut selalu membuatku tenang. Menerbangkan angan-angan."
"Kau pasti suka melamun."
"Ya," sahutmu tak mengelak. "Kalau punya masalah, aku membaginya pada ombak dan burung-
burung, pada kanvas ini..." Ada kegetiran yang mengalir lewat pengakuanmu. "Meskipun
masalah itu akan menyongsongku kembali begitu tiba di rumah."
"Kau...." Aku menatapmu lurus-lurus. "Kau menyimpan persoalan?"
"Banyak."
"Aku terkejut sekaligus gembira. Tidak setiap orang bisa secepat itu mempercayai orang lain.
Apalagi belum saling menyebutkan nama. Tapi kau percaya padaku!
"Apakah persoalan itu menyangkut keluargamu?" tanyaku lebih jauh.
Kau menoleh, tersenyum pahit, lantas menggeleng tak yakin. Kuhela napasku hati-hati. Merasa
sedang menghadapi sebuah 'puisi'.
"Kau lihat tembok rumah yang tinggi di sana?" Jarimu menunjuk ke dinding yang menjulang di
belakang perkampungan nelayan.
Aku mengangguk penuh perhatian.
"Itu rumahku! Rumah yang megah!" Suaramu sinis. "Aku tidak suka tinggal di situ. Alangkah
kontras pemandangan yang dihadirkannya. Beberapa langkah saja dari sana, kita menemukan
gubuk-gubuk kumuh di sini."
Aku mengangguk lagi, membenarkan.
"Pernahkah penghuni rumah-rumah megah itu tahu apa yang terjadi tiap hari di sepanjang pantai
di belakang istana mereka ini?" tanyamu dengan suara emosional. "Papa atau Mama tidak ingin
tahu. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Mereka cuma tahu kehidupan di tepi pantai lain.
Di Akai, Barata, Makassar Golden Hotel, Safari Park, dan sekitarnya. Mereka menutup mata,
bahwa di belakang rumah mereka ada kampung nelayan yang miskin...."
Kuperhatikan matamu sungguh-sungguh. "Kau musuhi orangtuamu?"
Kau tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. Sesaat matamu melamun, sebelum akhirnya
berkata dengan suara serak. "Aku tak bisa membayangkan daerah ini di masa depan."
"Agaknya kau mengkhawatirkan sesuatu." Aku menatapmu lunak.
"Tanah tempat mereka mendirikan perkampungan itu, dulunya adalah laut. Mereka bersusah
payah-payah menimbunnya dengan mengeruk pasir laut. Tahukah kau, ketika mereka melakukan
pekarjaan berat itu seluruh tenaga dikerahkan, termasuk anak-anak kecil. Tapi, hasilnya bukan
tidak mungkin sia-sia. Tanah yang seharusnya milik mereka tidak dilindungi Undang-undang,
akan direnggut oleh orang-orang di rumah megah itu. Dan bila kelak tergusur, kita hanya akan
menyaksikan lagi drama kemanusiaan yang mengharu-biru."
Saat itu, entah berapa banyak kalimat yang hendak kutuangkan tapi tertelan kembali. Aku hanya
mampu memandang wajah ayumu dalam remang petang dengan perasaan ganjil. Aku ingin
memperpanjang perbincanganku denganmu di waktu-waktu berikutnya. Aku tahu kamu
memandang kecewa menghadapi kenyataan. Mungkin kau 'sakit'. Kau memandang duniamu
hanya hitam dan putih, tentu oleh suatu sebab yang tidak sederhana. Di senja yang lain, kutemui kamu sedang melukis di tempat yang sama. Lukisanmu senada, dan
membuatku bertanya-tanya. "Kau begitu menyukai langit senja," usikku.
Tanpa merasa terganggu, kau menoleh padaku. Dalam kanvasmu kulihat ada sapuan nuansa
hitam di bagian langit. Seolah-olah kau tidak jujur merekam obyek.
"Lukisan senjamu...." Kembali aku tak berhasil mengendalikan kesabaran. "Alangkah kelam."
Kau agak terperanjat, namun kemudian tersenyum. "Ini bukan lukisan senja. Ini lukisan
kehidupan!"
Ada dua kalimat yang ingin kulontarkan. Pertama: kamu sudah mampu melukis di sanggar, jauh
dari obyek. Tapi aku memilih yang kedua: "Kamu memiliki masa lalu yang muram?"
"Aku...." Matamu sedikit panik. "Aku tidak berkata begitu!" Tertangkap nada penyesalan. "Aku
hanya mengibaratkan kanvas sebagai sebuah kehidupan. Kenyataan yang mengikuti ke mana aku
melangkah."
"Itu yang membawamu ke pantai ini, bukan?" Aku memojokkanmu.
"Kau...." Suara dan matamu basah. Kau berbalik begitu cepat dengan bahu yang terguncang.
"Tunggu!" Aku melompat menggapai lenganmu. "Maafkan kelancanganku."
Bibirmu bergerak-gerak, namun tak sepatah kata pun terucap. Aku menyaksikannya dengan lara,
turut merasa tersiksa. Sejenak kau menyapu wajahku dengan tatapan yang sulit kupahami.
"Terima kasih. Kau telah sudi mendengar cerita tentang kampung nelayan ini."
Kau membereskan kanvas dan cat-cat minyakmu. Memasukkannya ke dalam kotak, lantas pergi
meninggalkanku. Aku tergugu, justru karena telah mendengar sedikit perihal dirimu.
Tersisa sesal di dada lantaran pada hari-hari kemudian tak lagi kudapatkan kamu melukis di
pesisir ini. Terus terang aku menemukan inti teater dari pertemuan kita. Bukan di sanggar Kak
Yudhis. Rasanya aku kepergok sebuah puisi yang sukar, dan apresiasiku jadi buntu. Selanjutnya
aku bahkan kehilangan puisi kesayangan itu. Dirimu!
Menantimu di tempat ini, dalam musik laut tak henti-henti, hatiku bagai digasak badai. Nyeri
sekali. Makin hari rasa kehilanganku bertambah. Harapanku menjumpai seorang gadis duduk
menggambar langit senja, tak kunjung nyata. Barangkali kau sakit. Atau marah? Sedang aku tak
berani mencarimu ke deretan rumah megah itu.
Hari-hari menunggu itu akhirnya mencapai batas sabarku. Kenangan pertemuan denganmu mulai
kulupakan. Hingga suatu hari, ketika kusampaikan surat ke rumah Tante Mei, tiga tahun sejak
kukenal wajahmu.
"Kau...?" Bulat matamu bagai hendak terlompat. Tapi aku lupa padamu. Kudengar suaramu
kecewa. "Kau tidak ingat padaku?" Bagaimana aku bisa mengingatmu jika hanya dua kali
bertemu, juga tidak pernah kutahu namamu? Tapi kau mengingatku dengan baik!
"Rasanya aku pernah melihatmu. Tapi di mana?" tanyaku jujur.
Kau tersenyum. Begitu anggun, dan mau mengerti. "Pernah melihat lukisan kehidupan?"
Ya, Tuhan! Tak sengaja aku terpekik oleh ingatan yang lengkap. Garis-garis wajah serta jemari
yang dulu selalu kulihat menggenggam batang kuas, membangkitkan kenangan dengan utuh. Ah,
dulu kamu lebih temperamental.
"Kenapa tidak melukis lagi?" tanyaku kecewa.
"Sebab aku merasa tidak berbakat. Tiga tahun yang lalu kita masih sama-sama kanak-kanak.
Penilaianmu hanya untuk menghiburku.
Aku hendak membantah, tapi matamu yang tajam menahanku.
"Aku punya bukti!" katamu seraya beranjak ke dalam. Kau bawa setumpuk lukisan dari
kamarmu dan kau pamerkan padaku. Senja Satu sampai Senja Delapan. Katamu itu lukisan
kehidupan! "Aku tak bisa menggambar obyek lain." "Kau tidak mencobanya."
"Sudah."
"Mana hasilnya?"
"Kalau berhasil, tentu aku tak menolak kau sebut berbakat."
"Apa yang kau gambar?"
"Manusia."
"O," aku mengangguk. "Bocah-bocah nelayan maksudmu?"
Kamu menggeleng dan berpaling. "Kamu!"
"Aku?!" Seluruh isi dadaku rasanya ikut terhampar keluar.
Kau tersenyum, tenang luar biasa. Sementara aku kalang kabut tapi tak bisa mengatakan apa-apa.
Tiga tahun tak melihatmu, membuatku kehilangan banyak. Kau jadi lebih dewasa dan pintar
menyimpan gejolak. Tidak gegabah, tidak meledak-ledak. Kau semakin matang, terutama dalam
mengungkapkan cinta. Siapa yang telah mengajarmu?
"Barangkali pengalaman, Raga." Tante Mei, adik ibumu, mengatakan padaku ketika aku gagal
mengorek cerita dari mulutmu. Kamu terlampau tegar untuk membagi masa lalumu kepada
orang lain. Bahkan tidak kepadaku: kekasihmu!
"Sasha adalah anak hempasan badai," ujar Tante Mei. "Pada usia dua belas tahun, orangtuanya
bercerai. Enam tahun setelah itu pacarnya meninggal karena kecelakaan. Dia pindah kemari
ketika sudah benar-benar benci terhadap suasana rumahnya. Ia anak tunggal yang malang...."
Daun-daun kering luruh dari ranting di depan jendela. Aku mengawasinya diam-diam. Kalau saja
tidak memiliki kekuatan hati, nasibmu mirip daun yang gugur. Melayang tak tentu arah.
"Sasha berusaha melupakan peristiwa pahit itu dengan menyibukkan diri di kampus. Menjenguk
kampung nelayan, bermain dengan anak-anak gelandangan. Mengunjungi panti wredha atau
melukis di kamarnya. Tapi Raga, tak semua orang pintar menghapua jejak traumatiknya,
bukan?"
Pendapat sahabat ibuku itu benar. Kewajibanku, tentu saja, menyediakan sekeranjang pengertian.
Dan merebutmu dari hari-hari bersama kawan-kawan kecilmu. Karena aku mencintaimu.
Aku ingin berbuat apa saja demi kau. Tapi cinta bukan hanya dirasakan, melainkan juga
dimanifestasikan. Aku ingin kita bisa saling mengerti. Aku ingin kamu membutuhkanku, seperti
aku membutuhkanmu. Tapi, bagaimana mungkin bila kau mampu mengatasi segalanya? Kau
hindari bantuan orang lain hanya untuk mendapat pengakuan bahwa prahara tak membuatmu
terbanting.
Berada di dekatmu, aku tak ubahnya anak kecil. Kau terlalu kukuh dan karib dengan kesendirian.
Sehingga seorang Raga tak lebih dari boneka, hanya teman bercakap sewaktu kau lepas dari
kepungan bocah-bocah pesisir. Dua tahun percintaan kita berlangsung dengan aneh.
Salahkah jika aku mengungsikan kecewaku pada makhluk mungil yang tidak menganggapku
patung? Di depan gadis manja yang mudah merengek, aku menjadi laki-laki sejati. Ternyata aku
membutuhkan seekor burung yang lincah, genit, dan cengeng....
"Maaf, Sasha, semalam aku absen. Aku menemani Aline mencari perlengkapan busana untuk
pementasan kami minggu depan." Aku meneleponmu Minggu pagi. "Kamu marah?"
Tawamu yang lunak terdengar di seberang. "Raga, sebaiknya jangan ganggu konsentrasimu
dengan berpikir macam-macam. Pementasanmu sudah dekat...."
Untuk kesekian kalinya aku tidak berakhir-pekan di beranda rumahmu. Dan aku tetap gagal
membuatmu marah, cemburu, atau merajuk. Hatimu terbuat dari pualam!
Kesabaran habis. Semula aku ragu akan kesungguhanmu ingin menata langkah yang sama
bersamaku. Lambat laun aku merasa pasti: tak ada rongga hatimu yang patut kuhuni. Apalagi tatkala tangan yang menyalamiku pertama kali seusai pagelaran: bukan tanganmu!
"Selamat, Raga! Gelar The Best Actor Festival Teater tahun ini ada di tanganmu!" Aline
menatapku dengan sepasang mata berbinar.
O, burung prenjak ini sangat memperhatikan aku. Ia laksana oase manakala sedang kulintasi
gurun. Kuraih kepalanya, kucium keningnya di balik panggung. Dan aku mendengar suaramu.
"Raga."
Aku dan Aline menoleh bersamaan dengan sejumlah kaget. Ternyata hanya persoalan waktu.
Engkau mencari ke belakang layar tentu hendak memberiku selamat. Dengan ketenangan
menakjubkan kau tersenyum, mengulurkan tangan. "Proficiat!"
Suaramu tidak menyiratkan kemarahan, sementara aku hampir gila mendengarnya. Kau
memandang Aline dengan hangat. "Ini gadismu, Raga?"
"Aline," Aline menyambut jabatan tanganmu.
"Aku Sasha, sahabat Raga." Kamu tersenyum manis sekali. Aku merasa pita suaraku tiba-tiba tak
berfungsi. "Raga sering cerita tentang kamu." Kau sentuh pipi Aline seperti seorang kakak
terhadap adiknya. "Jaga Raga baik-baik. Ia nakal, tapi hatinya baik." Kau tertawa lembut. "Nah,
aku pergi dulu."
Bah! Sandiwara macam apa ini?
"Sasha!" Aku memekik memanggilmu tanpa peduli perasaan Aline. Aku melompat, mengejarmu
dengan hati luluh-lantak. Sungguh mati, aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Sasha. "Sasha!"
Di pintu gerbang pertunjukan, hanya dingin yang menyambutku. Kulihat sisa penonton yang
menunggu kendaraan pulang, dan sebuah taksi yang tiba-tiba menjauh dari halaman parkir.
Kakiku sulit dibawa melangkah, meskipun tahu persis bayangmu ada di balik kaca sedan yang
sedang pergi.
Pada akhirnya aku mengambil sikap yang amat buruk: meninggalkan dunia teater justru ketika
kuraih gelar terhormat sebagai pemain terpuji. Aku berpisah dengan Kak Yudhis, yang tentu
sangat kehilangan. Aku hanya merasa gagal memelihara sebuah hati. Hatimu, Sasha! Yang kini
menjadi 'Sri Panggung' dalam dimensi yang tak mengenalku lagi.
Engkau memainkan teater yang sesungguhnya. Pelupuk matamu menyipit, kadang membara,
atau bahkan menatap kosong tanpa makna. Mulutmu meracau, sesekali tertawa sedih. Ucapan-
ucapanmu semakin jauh, dan tak lagi tergapai oleh akal sehatku. Tungkai kakiku gemetar. Hatiku
remuk dan membanjirkan darah. Aku ternyata bukan aktor yang baik. Perasaanku tak dapat
dimanipulasi. Laki-laki akan tertawa dan menangis untuk satu kejadian saja. Sebab rasa yang
dimiliki laki-laki: bugil bagai bayi. Maka aku menangis untukmu, Sasha. Betul-betul
mengeluarkan airmata, yang berjatuhan membasahi catatan harianmu selama mencintaiku. Kalau
kelak aku mampu jatuh cinta lagi, barangkali tak sedalam ini perasaanku.
"Kepundan itu meletus, Raga." Suara Tante Mei terdengar kering waktu itu. "Dia sudah tak
sanggup lagi memendam lahar!"
Kupandangi wajah berduka itu dengan putus asa. Aku tidak membutuhkan kalimat penjelasan
serupa itu. Aku justru memerlukan pernyataan dari orang-orang di sekeliling. Aku butuh
keyakinan bahwa kamu, gadisku, bukanlah orang gila!
Astaga, aku mulai menggigil oleh angin laut yang basah. Matahari sudah lama menghilang.
Suara ombak terus terdengar, seriuh lima tahun lalu. Tapi kini cinta telah berdebu dan segalanya
kurasakan jauh berbeda. Tak kumiliki apa-apa lagi di pantai ini, kecuali sebuah kenangan yang
menambah jumlah bersalahku dari tahun ke tahun. Tanpa engkau, Sasha, pengembaraan ini jadi
semakin sunyi. Seperti debu yang sendiri.
Malam ini mestinya milik kita, Sasha
Tapi awan merebut rembulan dari kepungan bintang
Langit hanya jelaga, seperti jubah hitam dalam rimba
Anjing melolong di kejauhan,
giris luar biasa
Aku di sini: seperti debu yang sendiri....
3 komentar:
- Fie mengatakan...
-
aQ agk gag XAmbung..
hehehehe... - 20 September 2010 pukul 00.37
- Unknown mengatakan...
-
guest : dbaca Lagii bu'..
- 21 Agustus 2011 pukul 00.07
- Anonim mengatakan...
-
butuh b.o aman? diskon besar ? terpercaya? deposit murah?
disini aja bos !
" togelpelangi.com "
PREDIKSI AKURAT DIJAMIN JP RANDOM(4D 3D 2D)
1 MINGGU 4X
HANYA UNTUK MEMBER SETIA KAMI
kenapa harus togel pelangi?
ya karena togel pelangi memberikan ;
- Diskon pemasangan besar
- Deposit murah = 20.000 / wd ; 20.000
- CS 24 jam
- Prediksi terakurat dan lengkap
- Berapapun jumlah kemenangan dibayar
- Online Game Betting toto fair 100%
- Jackpot Besar (Lansung diundi, Syarat cuma betting seperti biasa)
Sudah ada 10juta member dan bandar darat yang main di togel pelangi
hasilnya ?
Puas dengan pelayanan super cepat (Fast respon)
aman dan nyaman
yang ga bisa main
jadi jago JP terus ,
Nah kamu kapan lagi bos :D
info kontak :
D8E23B5C ( BBM )
togelpelangi (LINE )
+85581569708 ( WhatApps )
togelpelangi (WeChat )
LIVE CHAT 24 JAM ( http://www.togelpelangi.com/ )
Daftar : http://www.togelpelangi.com/daftar
Promo Jackpot ( HOTTT ) : http://www.togelpelangi.com/promo
Become a smart Player in Online Gaming (y) - 13 Agustus 2017 pukul 04.35